Setelah beberapa hari membantu Bapak dalam merapihkan belakang rumah. Bapak yang membuat racikan adukan semen, air dan pasir. Saya membantu membawakan adonannya. Walaupun, saya berperan begitu kecil dalam hal ini. Saya mencoba untuk tetap mengambil pembelajaran apa yang akan bapak ajarkan. Mengamati bapak dalam mlester pasir ke tembok sambil menunggu ember yang bakal diisi kembali. Bapak meneplokan adonan ke tembok, meratakannya kembali dengan kayu secara berulang - ulang. Punggung bapak terlihat capai. Tak jarang keringatnya membasahi punggungnya yang kering.
Kemudian kami istirahat, Ibu sudah menyiapkan makanan dan minuman. Bapak jarang sekali bercerita dalam hal urusan rumah tangga. Ia lebih sibuk dengan pekerjaannya yang tak henti. Cerita hanya sekadar keinginannya untuk memperbaiki rumah. Bapak juga merawat halaman samping rumah dengan gembira. Saya sering menanyakan kapan tanamannya berbuah ketika merantau. Ada tanaman pisang, jambu air, mangga dan kelengkeng. Ketika selesai bekerja, Bapak lebih suka beristirahat di halaman rumah di bawah pepohonan. Ia tak lepas juga dengan teman akrabnya. Satu bungkus rokok tujuh enam menjadi teman melamun. Suatu ketika Bapak senang sekali jambu airnya berbuah. Ia rajin membrongsong, lalu ia makan sendiri, membagikan ke putu kesayangan dan tetangga yang mau mencicipinya. Saya juga pernah mencobanya. Jambu airnya begitu manis. Semanis senyum Bapak ketika bangga bisa merawat tanaman sampai berbuah.
Pada suatu ketika, saya membayangkan ketika menjadi seseorang bapak ternyata mempunyai keahlian sederhana dalam hal merawat rumah itu berguna sekali. Walaupun hanya sekadar bersih-bersih rumah, memasang bata, nglepa, mengaduk semen, mengecat tembok dan membetulkan gendeng. Cara seperti ini diterapkan Bapak untuk membangun kedekatan dengan anak-anaknya. Apalagi rumah bagian terdekat dari sebuah hubungan rumah tangga. Seorang Bapak juga sudah menjamin keluarganya untuk tetap aman dan nyaman di rumahnya.
Terima kasih Pak, sehat selalu.