Pulang Ke Desa
Setelah beberapa waktu, jarang sekali pulang ke kampung halaman. Dengan berbagai kesibukan yang mungkin teman-teman juga merasakanya. Pergi dari kampung halaman biasanya ada yang bekerja, melanjutkan sekolah, bahkan berpindah rumah karena faktor ekonomi yang tidak memungkinkan di desa.Semua itu dilakukan, karena dewasa menutut kita untuk seperti ini dan seperti itu, terkadang hal itu muncul dari orang lain. Ketika melihat sekeliling kita sudah bertumbuh, hendaknya kitapun bertumbuh. Mengambil peran, mau jadi apa kelak, mau jalan mana yang akan dipilih dan apa yang akan dipetik ketika kita menanam dari sekarang.Yang aku rasakan, saat ini bagaimana memberi jeda dan berhenti sejenak. Memberikan ketenangan diri tak usah selalu berlari. Ada kalanya kita istirahat, jangan jangan yang kita kerjakan saat ini. Ada yang perlu diperbaiki....Ternyata Berhenti Bukan Berarti Rugi
Perjalanan Menuju Ketenangan
"Mas berhenti bisa ngga, mau kecing dulu," kataku Sebuah perkataan yang saya katakan terdengar aneh diposisi jalan tol ini, mana ada wc di daerah sini. Tapi mau ngga mau kencing adalah hal yang tidak boleh ditunda-tunda titik (dalam pikiranku). Disisi lain perjalan baru masuk tol, bisa dibayangkan berapa jarak tol dari tujuan dan berapa lama untuk mengatur strategi supaya bisa mengendalikan kencing ini. Sempat mengolah terbayang ketika macet saya harus keluar jalan kesemak-semak dan kencing langsung. Apa saya kencing dibelakang tempat duduk dimasukin ke botol. Huawaaaa semua tidak mungkin dilakukan yang hanya msebuah halu saja. Batu putih yang biasanya sebagai solusi terakhirku untuk menahan kencing, kini tak mungkin bisa diandalkan.Perasaan pasrah, lemes, dan tak berdaya yang sekarang aku rasakan. Terbayang saking malunya jika harus takterkendali kencing di celana. Apalagi saat mobil melewati polisi tidur, berasa mau keluar tapi ngga jadi. Selalu berulang lagi dan lagi, "mas pelan pelan ya waktu ada polisi tidur" kataku. Mada iya kencing di mobil beneran, siapa yang tau kan ada polis tidur eh keblabasan keluar. Saking malunya disebelahku ada seorang cewe yang seolah-olah mengerti yang aku rasakan. " Hmm yang sabar ya," katanyaPada akhirnya kita melewati jalan kecil lalu keluar tol, untuk mencari wc . Setelah mencari google map kebetualan ada masjid disekitar jalan kecil itu. Ternyata, sopir mobil pun sama, sama-sama merasakan betapa jerih payahnya menahan kencing di jalan tol sambil menyetir mobil. Mumgkin sama juga ketika ada tanjakan. Ternyata kita satu frekuensi mas, lain kali kalo mau lewat tol kencing dulu itu penting sekali. Minimal bisa nahan samapai res area.Selesai dan lega sekaliiiii.........
Melambatkan Diri
Sudah satu minggu lebih membiasakan berangkat bekerja jalan kaki. Jarak tempuh sekitar 1,9 km untuk bisa beranglat ke tempat kerja. Adakalanya perasaan senang dan malas saling mendahului. Niatan seperti ini berawal dari membaca tulisan dari kompas. Bahwa jalan kaki baik untuk kesehatan badan. Ditambah hidup merantau perlu menghemat uang, belum juga dikarunai momongan motor dan faktor enggan memberatkan orang lain. Semisal harus minjam motor ataupun sukarela ada yang menawarinya pinjaman. Selagi masih mempunyai apa yang bisa dipakai. Ntah bentuknya barang ataupun anggota badan. Seperti kaki-kaki yang masih bisa untuk melangkah merdeka. Ya sudahlah, akhirnya saya putuskan menjadi sebuah prinsip dalam diri. Meminta bantuan dan menerima bantuan orang lain sah-sah saja. Tetapi perlu lebih dulu melihat dan merasakan sendiri. Apakah masih mampu raga dan jiwa ini. Semisal mampu melakukan sendiri maka lakasanakanlah. Dalam makna lebih dalam berdikari. Kegiatan jalan pagi ada keuntungannya. Selain baik untuk kesahatan. Kita juga lebih jeli dalam melihat dan merasakan keadaan. Apa lagi di zaman yang begitu cepat sekarang ini. Adakalanya cara menikmati hidup dengan berjalan kaki. Dengan berjalan kaki saya bisa melihat hamparan sawah yang luas, kondisi lingkungan, pengendara jalanan yang saling cepat, dan aktivitas pagi lainnya. Tak sungkan-sungkan saya segera mengabadikan momen ini. Selain sebagai pengingat, bisa juga sebagai bahan untuk bercerita. Seperti foto perempuan yang sedang dibonceng suaminya. Berlatar botol bekas berbentuk cinta. Sebuah botol bekas yang mulai lepas satu persatu. Apakah cinta orang tua seperti itu. Setelah mempunyai anak cintanya mulai berkurang. Karna sudah meraskan dan cintanya dibagikan ke putu-putunya. Dalam hal ini, keributan keluraga akan bertambah Segala macam permasalahan muncul ssbagai pemicu keributan. Seperti harus belanja ke pasar, masalah kegiatan mencuci baju, membersihkan rumah, belum lagi masalah ekonomi dan menurus anak. Lebih jelasnya bisa ditanyakan ke orang tua yang suka ribut terus. Ah sial sayq terbawa masuk tulisanku sendiri.Marijal ( Mari jalan kaki)
Agustus Menanti Hujan
Pagi ini, bersyukur sekali rasanya bisa melihat langit. Memandang langit diantara tiang listrik. Langit yang begitu cerah dan biru. Lampu jalan otomatis yang masih menyala dan akan mati ketika matahari datang. Suasana pagi semakin sahdu. Kicau burung yang sedang keluar dari sangkarnya. Menunjukan bahwa kehidupan akan segerah dimulai. Akhir-akhir ini langit sering diperbincangkan. Setelah sekian lama hanya senja yang selalu dirindukan. Langit yang tampaknya biru berubah menjadi kelabu. Sebagian daerah indonesia sedang mengalami hal seperti ini. Ntah hanya kabar saja atau isu polusi yang tak kunjung ada solusi. Berjalan secara terus menerus karena belum terjadi secara serius. Kesadaran akan muncul ketika semua saling merasakan akibat semua itu. Terlalu dalam bagiku untuk berpikir seperti ini kepada langit pagi. Langit akan selalu di atas. Sedangkan manusia tempatnya di bawah. Walaupun bisa ke atas itupun hanya sementara. Tetapi ketika di bawah, manusia bisa menjaga kehidupan. Kita akan mendatakan sebuah hadiah yang tak terduga dari langit. Seperti langit mengirimkan hujan untuk tanah gersang. Memberi butiran pelangi di kalah kesedihan datang. Kepada langit, semoga hujan datang. Kemarau Agustus sudah terlalu panjang. Selalu ada separuh kebahagian dikala hujan datang. Separuh yang tidak bahagia adalah orang yang tak bersyukur. Bukankah hujan adalah sekumpulan doa-doa yang mudah terkabul. Mari langitkan segala doa dikala hujan datang.
Anak-Anak yang digembala Angin
Dalam perjalanan pulang selepas bekerja dari Semarang ke Demak. Sudah terlintas dalam benak. Untuk sesekali berkunjung ke sebuah tempat. Sebuah tempat yang mulai tenggelam oleh genangan air laut yang menuju ke darat. Tempat ini baru dibangun jalan tol untuk menghindari kemacetan jalanan. Terlihat kesenjangan yang begitu significan antara jalan tol dengan rumah yang pemukiman warga. Permasalahan terendamnya perkampungan warga, salah satu penyebabnya karena perubah iklim. Mau tidak mau sebagian warga ada yang tetap tinggal di pesisir pantai tersebut. Alasan yang begitu lazim karena mayoritas penduduk berkerja sebagai nelayan. Tak dapat dipungkiri pekerjaan utama yang terkadang harus dilakukan. Walaupun hasil tak sebanding dengan kenyataan. Dalam buku "urip di oyak oyak banyu" nelayan biasanya menjual hasil tangakapan ke pengepul. Harga yang kerap kali rendah tak sesuai jerih payah. Teringat kejadin seperti ini juga di rasakan oleh petani sawah di desaku. Pekerjaan petani padi menjadi mayoritas utamanya. Lagi-lagi pengepullah yang mengatur harga pasaran. "Arep di dol piro hasil penen padinya, hasil tangkapan ikannya gelem ora gelem yo semeno regane." Desakan ekonomi kebutuhan mau tidak mau menuruti harga pengepul. Padahal jerih payah mencari ikan sekarang sudah lumayan jauh. Seperti anak-anak yang sedang digembala angin. Hanya satu mata pencarian sulit sekali untuk tidak menyetujui dan menjalani. Ada perasaan ketakutan dan kekawatiran yang menylimuti. Dalam hal ini aku tersadar. Sudah selayaknya ketergantungan pekerjaan utama harus diselipi pekerjaan lainnya. Inovasi dan kreativitas perlu di uji lagi. Karena dalam bekerja akan lebih nyaman jika tidak terlalu bergantung satu gaji. Angin tak selamanya ada dan berahabat, akan selalu ada waktu yang merubahnya. Ntah berubah sifat, berubah menjadi angin musim penghujan ataupun angin kemarau. Mari berani mencoba untuk hal baru. Berani mencoba memutuskan layang-layang. Bukankah terkadang kita gembira ketika layangan putus. Walaupun kesedihan akan selalu ada. Tetapi ada yang perlu diingat, kita masih bisa memainkan permainan dimusim selanjutnya. Pada musim yang berbeda.Tol Sayung
Menuju Timbulsloko
Tepat pada hari kemerdekaan Indonesia yang ke-79. Niat awal ingin menyaksikan upacara di alun-alun Demak. Tetapi saat bangun pagi setelah sholat subuh. Lanjut jalan kaki niat itu berganti. Angkot yang biasanya mengatarkan para penumpang ke Semarang. Tak heran saat saya jalan kaki terdengar suara “ Semarang…semarang Mas.” kata kernet angkot. Melihat angkot menawari tumpangan hati saya berpindah kelain hati. Saya memutuskan untuk pergi ke Timbulsloko. Niat yang terpendam sudah lama. Akhirnya terkabulkan.Akhirnya saya memutuskan naik angkot. Suasana pagi angkot yang begitu hangat. Kebanyakan penumpangnya orang tua yang ingin pergi ke pasar. Suara riuh perbincangan antar penumpang dan kernet. Karnet dengan penumpang. Kemudian kernet menanyakan mau turun di mana Mas?. “Timbulsloko Pak,” jawab saya. “Mau ngapain di sana, wong sudah banjir,” suara kernet dengan nada aneh. “Mau menyaksika upacara Pak, jawab saya dengan percaya diri.” Aslinya ini cuma nekad saja.Angin berembus pagi. matahari belum terbangun juga dari mimpi. Beberapa orang juga tertidur di bangku belakang. Ada juga yang sudah sampai tujuan. Tiba di mana kernet mengetuk koin di besi. “Ting…ting…ting”. Saya berhenti di depan pertigaan jalan raya sayung. Lalu saya membeli cemilan makanan untuk mengisi perut yang sudah kosong. Matahari terbangun memberikan cahayanya lewat air sungai. Sungguh indah pagi kali ini. Bertanda kehidupan akan segera dimulai.Setelah membeli makananan pagi, seharga 10 ribu. Saya melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Nekad. Maafkan teruntuk kedua kakiku ini. Perjalnan kali ini lumayan jauh. Sembari membawa makanan, saya melihat jalanan yang di sampingnya terlhat ruko-ruko. Dan belakangnya sudah hamparan air rob. Nama jalan ini jalan PLN. Kayaknya ada arusnya atau mungkin tegangannya. Ntahlah. Ini bukan listrik Danu.…..Di tengah perjalanan tiba-tiba ada yang menawariku boncengan. Seorang bapak yang berbaik hati yang akan pulang ke rumahnya. Alhamdulilah sedikit diringkankan walaupun tidak sampai lokasi tujuan. Terkadang perjalanan mengajari banyak hal (biar kayak buku perjalanan). Ya walaupun sesederhana ini. Sayangnya, saya lupa namanya. Sebut saja bapak baik hati. Katanya dia orang Dempet. Salah satu desa yang dekat dengan timbulsloko, terkadang juga terkena dampak rob. Ia juga menceritakan perihal keadaan yang dialaminya.Sering kali bantuan lebih banyak diberikan kepada mereka yang kelihatnya viral di sosial media. Padahal warga yang tidak jauh dari merekapun juga terkena dampaknya. Dalam hatiku “ah iya juga ya kita sering memberikan bantuan ketika sudah viral langsung berbondong bantuan datang." Tanpa melihat terlebih dahulu apa yang mereka butuhkan, kapasitas bantuan yang sekiranya cukup dan sekadar merubah hasil bantuan untuk segera disubangkan.” Di sisi lain, semakain banyak memberikan bantuan ke satu tempat yang sama biasanya jumlah bantuan kurang terkontrol menimbulkan ke mubaziran. Bahakan akan menjadi sampah yang berserakan. Sebuah renungan dalam perjalanan kali ini.Setibanya di depan rumanya bapak itu, atas nama boncengan dan bapak ini saya ucapkan terima kasih. Serta permintaan maaf belum bisa ngasih apa-apa. Hal yang sering saya alami biasanya orang yang membonceng tak butuh uang. Lebih tepatnya bahasa memberinya kurang tepat. Mereka lebih suka menerima ketika diberikan sesuatu barang atau setidaknya diajak makan bareng. Dan perjalan kali ini sungguh tanpa persiapan hal seperti itu. “Halah alasanmu Dan ora gawa duit.”Lanjut saya jalan kaki menuju timbulsloko. Saat di pertigaan ada gang kecil kalau belok kiri ke arah timbulsloko. Terdapat papan nama gang berwarna hijau bertuliskan tinta warna putih. Terihat jalan lurus berlatar gunung ungaran. Hamparan kanan kiri air setalah melewati beberapa rumah dan masjid. Ada beberapa pemancing yang pagi ini sudah mencoba keberuntunganya.Untuk menuju timbulsloko hanya ada jalan roda 2 itupun kalau robnya tidak naik. Semisal air robnya naik biasanya menggunakan kapal warga. Terlihat pada pandangan mata di ujung ada kampung timbulsloko. Ada langgar berwarna hijau. Kemudian saya melanjutkan perjalanan dengan jala kaki. Di tengah perjalanan menuju lokasi terdapat satu warung berdiri. Sejenaka memesan susu jahe sambil memakan jajanan pagi. Sembari menikmati cahaya matahari pagi kali ini.Apa benar itu timbulsloko?, dalam hatiku. Untuk menyelesaikan rasa penasaranku. Saya mengajak ngobrol dengan para pemancing di sana. Mas apa tu timbulsloka ya?kataku. Iya mas itu tumbulsloko katanya. Terdengar juga suara dari masjid warga disuruh kumpul. Akhirnya saya lanjutkan perjalanan. Tak lupa membayar susu jahe 4 ribuan.Sampai di sana, ternyata benar mau di adakan upacar 17 an. Tanpa berpikir lama, Saya menyaksikan dan merapatkan barisan. Merdeka….