Perjalanan Menuju Ketenangan
"Mas berhenti bisa ngga, mau kecing dulu," kataku Sebuah perkataan yang saya katakan terdengar aneh diposisi jalan tol ini, mana ada wc di daerah sini. Tapi mau ngga mau kencing adalah hal yang tidak boleh ditunda-tunda titik (dalam pikiranku). Disisi lain perjalan baru masuk tol, bisa dibayangkan berapa jarak tol dari tujuan dan berapa lama untuk mengatur strategi supaya bisa mengendalikan kencing ini. Sempat mengolah terbayang ketika macet saya harus keluar jalan kesemak-semak dan kencing langsung. Apa saya kencing dibelakang tempat duduk dimasukin ke botol. Huawaaaa semua tidak mungkin dilakukan yang hanya msebuah halu saja. Batu putih yang biasanya sebagai solusi terakhirku untuk menahan kencing, kini tak mungkin bisa diandalkan.Perasaan pasrah, lemes, dan tak berdaya yang sekarang aku rasakan. Terbayang saking malunya jika harus takterkendali kencing di celana. Apalagi saat mobil melewati polisi tidur, berasa mau keluar tapi ngga jadi. Selalu berulang lagi dan lagi, "mas pelan pelan ya waktu ada polisi tidur" kataku. Mada iya kencing di mobil beneran, siapa yang tau kan ada polis tidur eh keblabasan keluar. Saking malunya disebelahku ada seorang cewe yang seolah-olah mengerti yang aku rasakan. " Hmm yang sabar ya," katanyaPada akhirnya kita melewati jalan kecil lalu keluar tol, untuk mencari wc . Setelah mencari google map kebetualan ada masjid disekitar jalan kecil itu. Ternyata, sopir mobil pun sama, sama-sama merasakan betapa jerih payahnya menahan kencing di jalan tol sambil menyetir mobil. Mumgkin sama juga ketika ada tanjakan. Ternyata kita satu frekuensi mas, lain kali kalo mau lewat tol kencing dulu itu penting sekali. Minimal bisa nahan samapai res area.Selesai dan lega sekaliiiii.........
Anak-Anak yang digembala Angin
Dalam perjalanan pulang selepas bekerja dari Semarang ke Demak. Sudah terlintas dalam benak. Untuk sesekali berkunjung ke sebuah tempat. Sebuah tempat yang mulai tenggelam oleh genangan air laut yang menuju ke darat. Tempat ini baru dibangun jalan tol untuk menghindari kemacetan jalanan. Terlihat kesenjangan yang begitu significan antara jalan tol dengan rumah yang pemukiman warga. Permasalahan terendamnya perkampungan warga, salah satu penyebabnya karena perubah iklim. Mau tidak mau sebagian warga ada yang tetap tinggal di pesisir pantai tersebut. Alasan yang begitu lazim karena mayoritas penduduk berkerja sebagai nelayan. Tak dapat dipungkiri pekerjaan utama yang terkadang harus dilakukan. Walaupun hasil tak sebanding dengan kenyataan. Dalam buku "urip di oyak oyak banyu" nelayan biasanya menjual hasil tangakapan ke pengepul. Harga yang kerap kali rendah tak sesuai jerih payah. Teringat kejadin seperti ini juga di rasakan oleh petani sawah di desaku. Pekerjaan petani padi menjadi mayoritas utamanya. Lagi-lagi pengepullah yang mengatur harga pasaran. "Arep di dol piro hasil penen padinya, hasil tangkapan ikannya gelem ora gelem yo semeno regane." Desakan ekonomi kebutuhan mau tidak mau menuruti harga pengepul. Padahal jerih payah mencari ikan sekarang sudah lumayan jauh. Seperti anak-anak yang sedang digembala angin. Hanya satu mata pencarian sulit sekali untuk tidak menyetujui dan menjalani. Ada perasaan ketakutan dan kekawatiran yang menylimuti. Dalam hal ini aku tersadar. Sudah selayaknya ketergantungan pekerjaan utama harus diselipi pekerjaan lainnya. Inovasi dan kreativitas perlu di uji lagi. Karena dalam bekerja akan lebih nyaman jika tidak terlalu bergantung satu gaji. Angin tak selamanya ada dan berahabat, akan selalu ada waktu yang merubahnya. Ntah berubah sifat, berubah menjadi angin musim penghujan ataupun angin kemarau. Mari berani mencoba untuk hal baru. Berani mencoba memutuskan layang-layang. Bukankah terkadang kita gembira ketika layangan putus. Walaupun kesedihan akan selalu ada. Tetapi ada yang perlu diingat, kita masih bisa memainkan permainan dimusim selanjutnya. Pada musim yang berbeda.Tol Sayung