Tepat pada hari kemerdekaan Indonesia yang ke-79. Niat awal ingin menyaksikan upacara di alun-alun Demak. Tetapi saat bangun pagi setelah sholat subuh. Lanjut jalan kaki niat itu berganti. Angkot yang biasanya mengatarkan para penumpang ke Semarang. Tak heran saat saya jalan kaki terdengar suara “ Semarang…semarang Mas.” kata kernet angkot. Melihat angkot menawari tumpangan hati saya berpindah kelain hati. Saya memutuskan untuk pergi ke Timbulsloko. Niat yang terpendam sudah lama. Akhirnya terkabulkan.
Akhirnya saya memutuskan naik angkot. Suasana pagi angkot yang begitu hangat. Kebanyakan penumpangnya orang tua yang ingin pergi ke pasar. Suara riuh perbincangan antar penumpang dan kernet. Karnet dengan penumpang. Kemudian kernet menanyakan mau turun di mana Mas?. “Timbulsloko Pak,” jawab saya. “Mau ngapain di sana, wong sudah banjir,” suara kernet dengan nada aneh. “Mau menyaksika upacara Pak, jawab saya dengan percaya diri.” Aslinya ini cuma nekad saja.
Angin berembus pagi. matahari belum terbangun juga dari mimpi. Beberapa orang juga tertidur di bangku belakang. Ada juga yang sudah sampai tujuan. Tiba di mana kernet mengetuk koin di besi. “Ting…ting…ting”. Saya berhenti di depan pertigaan jalan raya sayung. Lalu saya membeli cemilan makanan untuk mengisi perut yang sudah kosong. Matahari terbangun memberikan cahayanya lewat air sungai. Sungguh indah pagi kali ini. Bertanda kehidupan akan segera dimulai.
Setelah membeli makananan pagi, seharga 10 ribu. Saya melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Nekad. Maafkan teruntuk kedua kakiku ini. Perjalnan kali ini lumayan jauh. Sembari membawa makanan, saya melihat jalanan yang di sampingnya terlhat ruko-ruko. Dan belakangnya sudah hamparan air rob. Nama jalan ini jalan PLN. Kayaknya ada arusnya atau mungkin tegangannya. Ntahlah. Ini bukan listrik Danu.
…..
Di tengah perjalanan tiba-tiba ada yang menawariku boncengan. Seorang bapak yang berbaik hati yang akan pulang ke rumahnya. Alhamdulilah sedikit diringkankan walaupun tidak sampai lokasi tujuan. Terkadang perjalanan mengajari banyak hal (biar kayak buku perjalanan). Ya walaupun sesederhana ini. Sayangnya, saya lupa namanya. Sebut saja bapak baik hati. Katanya dia orang Dempet. Salah satu desa yang dekat dengan timbulsloko, terkadang juga terkena dampak rob. Ia juga menceritakan perihal keadaan yang dialaminya.
Sering kali bantuan lebih banyak diberikan kepada mereka yang kelihatnya viral di sosial media. Padahal warga yang tidak jauh dari merekapun juga terkena dampaknya. Dalam hatiku “ah iya juga ya kita sering memberikan bantuan ketika sudah viral langsung berbondong bantuan datang." Tanpa melihat terlebih dahulu apa yang mereka butuhkan, kapasitas bantuan yang sekiranya cukup dan sekadar merubah hasil bantuan untuk segera disubangkan.” Di sisi lain, semakain banyak memberikan bantuan ke satu tempat yang sama biasanya jumlah bantuan kurang terkontrol menimbulkan ke mubaziran. Bahakan akan menjadi sampah yang berserakan. Sebuah renungan dalam perjalanan kali ini.
Setibanya di depan rumanya bapak itu, atas nama boncengan dan bapak ini saya ucapkan terima kasih. Serta permintaan maaf belum bisa ngasih apa-apa. Hal yang sering saya alami biasanya orang yang membonceng tak butuh uang. Lebih tepatnya bahasa memberinya kurang tepat. Mereka lebih suka menerima ketika diberikan sesuatu barang atau setidaknya diajak makan bareng. Dan perjalan kali ini sungguh tanpa persiapan hal seperti itu. “Halah alasanmu Dan ora gawa duit.”
Lanjut saya jalan kaki menuju timbulsloko. Saat di pertigaan ada gang kecil kalau belok kiri ke arah timbulsloko. Terdapat papan nama gang berwarna hijau bertuliskan tinta warna putih. Terihat jalan lurus berlatar gunung ungaran. Hamparan kanan kiri air setalah melewati beberapa rumah dan masjid. Ada beberapa pemancing yang pagi ini sudah mencoba keberuntunganya.
Untuk menuju timbulsloko hanya ada jalan roda 2 itupun kalau robnya tidak naik. Semisal air robnya naik biasanya menggunakan kapal warga. Terlihat pada pandangan mata di ujung ada kampung timbulsloko. Ada langgar berwarna hijau. Kemudian saya melanjutkan perjalanan dengan jala kaki. Di tengah perjalanan menuju lokasi terdapat satu warung berdiri. Sejenaka memesan susu jahe sambil memakan jajanan pagi. Sembari menikmati cahaya matahari pagi kali ini.
Apa benar itu timbulsloko?, dalam hatiku. Untuk menyelesaikan rasa penasaranku. Saya mengajak ngobrol dengan para pemancing di sana. Mas apa tu timbulsloka ya?kataku. Iya mas itu tumbulsloko katanya. Terdengar juga suara dari masjid warga disuruh kumpul. Akhirnya saya lanjutkan perjalanan. Tak lupa membayar susu jahe 4 ribuan.
Sampai di sana, ternyata benar mau di adakan upacar 17 an. Tanpa berpikir lama, Saya menyaksikan dan merapatkan barisan. Merdeka….